LIPUTANBARU.COM//SLEMAN – Bobroknya sistem birokrasi yang ada pemerintah daerah berpotensi menjadi ladang korupsi oknum Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satunya terjadi di Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Sleman yang tidak serius dalam mengemban amanat pembangunan proyek pembangunan Pusat Layanan Usaha Terpadi-Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (PLUT KUMKM) di wilayah Sleman Barat.
Proyek senilai Rp 5,5 miliar ini diduga bermasalah. Tenggat waktu kontrak pekerjaan yang akan jatuh pada 22 Oktober 2024 ini masih nampak jauh dari kata selesai. Dari pantauan di lokasi, nampak pengerjaannya belum rampung. Dari bentuk bangunannya, baru tergarap sekitar 70-80 persen saja.
Diketahui, Pemerintah Kabupaten Sleman pada tahun 2024 mendapatkan kucuran Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Kementerian Koperasi dan UKM yang disalurkan melalui Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menegah Kabupaten Sleman sebesar Rp 5,5 miliar.
Adapun yang mengerjakan pembangunan PLUT ini adalah CV. TECHNISI dengan nilai kontrak Rp. 4.250.100.887,00. Dari pihak penggarap sendiri mengakui sampai dengan batas waktu pekerjaan proyek ini tidak akan terselesaikan alias molor atau terlambat.
“Tidak mungkin bisa selesai kalau batasnya besok lusa (22 Oktober). Ya mau bagaimana lagi kalau memang kondisinya seperti ini,” ujar salah satu pekerja yang ada di lokasi proyek.
Paket proyek ini diduga tidak dilakukan perencanaan dan kelayakan study, sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal dan terindikasi terjadi banyak penyimpangan yang berpotensi mengakibatkan keterlambatan pekerjaan atau gagal konstruksi yang signifikan.
Pelaksanaan pekerjaan yang asal-asalan ini tentunya masuk dalam kualifikasi pemborosan keuangan dan/atau bocornya anggaran negara dan secara langsung, yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan Negara.
Padahal, pembangunan PLUT wilayah Sleman Barat ini bertujuan untuk mensinergikan dan mengintegrasikan seluruh potensi sumber daya produktif yang dimiliki baik pusat dan daerah bersama stakeholder terkait dengan penyediaan jasa layanan bagi pengembangan usaha KUKM.
Seharusnya, apabila pekerjaan tersebut mengalami keterlambatan, pihak Dinas Koperasi dan UMKM Sleman harus memberikan sanksi denda. Bahkan bila diperlukan harus putus kontrak dan melakukan blacklist terhadap perusahaan tersebut.
Ketidakprofesionalan Dinkop UMKM Sleman ini dirumorkan ada intervensi pihak tertentu. Ada oknum di lingkaran Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo berusaha utak-atik anggaran Dinkop UMKM untuk membantu pemenangan Kustini dalam kontestasi Pilkada Sleman 2024.
Contohnya kegiatan “Pameran Potensi Daerah” yang akan di helat di Lapangan Denggung 1-10 November 2024. Kegiatan ini sengaja dipaksa berubah digelar berbarengan dengan masa kampanye Pilkada untuk mengkampanyekan salah satu Paslon.
Tak heran bila dalam flyer kegiatan yang beredar terpampang wajah Kustini Sri Purnomo. Padahal, pada tanggal tersebut Bupati Kustini sudah cuti dan posisi PJ Bupati sudah terisi.
Dinkop UMKM disinyalir mendapat perintah menggerakkan seluruh Kepala Dinas agar menugaskan persononilnya untuk hadir dan kepada seluruh Kapanewon turut menggerakkan massa menghadiri kegiatan.
Sebelumnya, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Prof. Agus Pramusinto, menyebut jelang tahun politik, ASN rentan terlibat praktik korupsi. Hal tersebut berangkat dari kondisi para kontestan politik yang memerlukan amunisi dana akibat biaya politik tinggi.
“Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejumlah kegiatan birokrasi berpotensi menjadi sasaran korupsi, yaitu, pertama praktik suap dalam pengisian jabatan ASN, baik jabatan pimpinan tinggi (JPT), administrator, dan pengawas,” ujar Prof. Agus.
Kedua, lanjutnya, kegiatan pengadaan barang dan jasa. Ketiga, kebijakan anggaran, baik dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan dan keempat, penerbitan perizinan.
Menurut Agus, para kontestan politik tentunya tidak dapat mengeksekusi langsung berbagai peluang korupsi tersebut.
“Mereka akan berkolusi bersama oknum ASN pemilik otoritas pengelolaan sumber daya anggaran, sumber daya manusia, dan aset, yang bersedia menggadaikan integritas,” jelasnya.
Sementara, pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai proyek infrastruktur di daerah masih menjadi sasaran praktik korupsi karena cenderung dilaksanakan tanpa persiapan matang dan tergesa-gesa.
“Penyiapan dokumen dan lelang kegiatan pembangunan tidak dilakukan jauh hari sebelumnya. Padahal penyiapan dokumen hingga lelang itu membutuhkan waktu paling tidak empat hingga lima bulan,” kata dia.
Dampaknya setelah lelang, kontraktor yang mengerjakan kegiatan tersebut tidak bisa mengerjakan pekerjaan maksimal karena terburu-buru deadline. Apalagi pembangunan dilakukan dengan pegangan perencanaan yang asal-asalan.
“Jika kontraktor molor dan mengejar deadline, pekerjaannya pun dipastikan tidak maksimal. Terlebih celaka, kontraktor tidak bisa menyelesaikan pekerjaan. Akan tetapi bila proses lelangnya molor karena alasan tidak jelas, sudah dipastikan ada prilaku koruptif di situ,” bebernya.
Sehingga yang kerap terjadi, penyerapan anggaran kecil dan selalu menumpuk di akhir tahun. Alasannya, selalu karena belum ada pembayaran.
“Kenapa belum ada pembayaran? Karena pekerjaannya masih berproses. Pada saat akhir tahun, baru dilakukan pembayaran. Sehingga penyerapan banyak terjadi di akhir tahun. Kalau pekerjaannya selesai tidak masalah. Yang dikhawatirkan kalau pekerjaan tidak selesai, pasti jadi mangkrak atau dipaksa menambah anggaran di tahun berikutnya,” pungkasnya.(***)