LIPUTANBARU.COM//LOMBOK – Krisis air bersih di Gili Meno dan Gili Trawangan, Lombok, telah memberikan dampak signifikan pada sektor pariwisata dan ekonomi lokal. Selama tiga pekan terakhir, lebih dari 125 usaha akomodasi dan restoran di Gili Meno terdampak serius akibat krisis ini.
Masalah ini terutama disebabkan oleh persoalan hukum yang melibatkan PT Gerbang NTB Emas (GNE) dan PT Berkah Air Laut (BAL), yang sebelumnya bertanggung jawab atas penyediaan air di wilayah tersebut.
Pakar Strategi Pariwisata Nasional Taufan Rahmadi mengatakan, krisis air bersih di dua Gili tersebut juga berdampak kerugian finansial bagi pengusaha yang ujung menggerus kunjungan wisatawan.
“Dengan terganggunya pasokan air bersih, banyak hotel dan restoran tidak dapat beroperasi penuh, yang mengakibatkan penurunan drastis dalam kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Lombok Utara, penurunan ini sangat terasa, terutama menjelang musim liburan puncak pada bulan Juli dan Agustus,” ujar Taufan Rahmadi.
Untuk mengatasi kekurangan air, pengusaha di Gili Meno harus mengimpor air dari luar pulau menggunakan kapal tongkang, yang menambah biaya operasional hingga Rp2,5 juta per hari. Biaya ini mencakup pengadaan air dari daratan yang kemudian diangkut ke pulau menggunakan perahu.
Dikatakannya, untuk menghitung perkiraan kerugian ekonomi yang dialami oleh para pelaku pariwisata di Gili Meno dan Gili Trawangan akibat krisis air bersih, bisa mempertimbangkan beberapa faktor utama.
Pertama, penurunan jumlah kunjungan wisatawan. Data menunjukkan bahwa krisis air menyebabkan penurunan drastis dalam kunjungan wisatawan. Misalkan sebelumnya Gili Meno dan Trawangan menerima 1000 wisatawan per bulan, dan setelah krisis turun menjadi 500 wisatawan.
“Jika rata-rata pengeluaran per wisatawan adalah Rp2.000.000, maka penurunan 500 wisatawan akan mengakibatkan kerugian sebesar Rp1 miliar per bulan. Untuk biaya operasional tambahan, pengusaha mengeluarkan sekitar Rp2,5 juta per hari untuk membeli air dari luar pulau. Jika ada 125 pengusaha yang mengeluarkan biaya tersebut, total biaya tambahan per hari adalah Rp312 juta atau Rp9,4 miliar per bulan,” terang Taufan.
Tim Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran ini berasumsi, jika setiap pengusaha kehilangan pendapatan Rp10 juta per bulan karena penurunan kunjungan wisatawan, total kerugian pendapatan untuk 125 pengusaha mencapai Rp1,25 miliar per bulan.
“Ini akan menjadi kerugian Jangka panjang akibat reputasi yang buruk,” cetusnya.
Taufan kembali merinci, jika reputasi pariwisata menurun dan membutuhkan waktu 6 bulan untuk pulih, dengan kerugian pendapatan bulanan seperti dihitung di atas, total kerugian selama 6 bulan mencapai Rp7,5 miliar.
“Jadi kalau ditotal perkiraan kerugian, untuk sebulan mencapai Rp11,6 miliar dan untuk 6 bulan mencapai Rp77,25 miliar. Itu kerugian yang harus dialami
para pelaku pariwisata di Gili Meno dan Gili Trawangan akibat krisis air bersih,” tuturnya.
Dampak lainnya, lanjut pria yang pernah mendapat penghargaan Tourism Inspirational Figure 2022 ini, adalah dampak jangka panjang pada reputasi pariwisata Gili Meno. Wisatawan yang mengalami kesulitan selama kunjungan mereka cenderung tidak akan kembali dan dapat memberikan ulasan negatif, yang memperburuk citra pariwisata pulau tersebut.
“Proses pemulihan kepercayaan wisatawan bisa memakan waktu lama, meskipun masalah air sudah teratasi,” ungkapnya.
Taufan menegaskan, untuk mengatasi krisis ini, beberapa langkah perlu diambil segera untuk mengatasi kondisi darurat disana. Di antaranya distribusi air dari daratan, pendekatan jangka panjang, dan Peran Pemerintah.
“Pemerintah KLU dan Pemprov perlu memikirkan cara distribusi air yang paling ekonomis dari daratan ke Gili selain menggunakan cara yang selama ini dianggap mahal,” ujarnya.
Mengingat ada kebutuhan mendesak untuk solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan, seperti pengembangan infrastruktur pengolahan air yang tidak hanya bergantung pada satu perusahaan, perlu dilakukan peningkatan kerjasama antara swasta dengan PDAM setempat, dan pengaturan tarif yang lebih adil untuk masyarakat dan pengusaha.
“Pemerintah daerah, bersama dengan Kementerian dan Kelembagaan di pusat (Kemenparekraf, Kemen PUPR , Kemenkomarvest, Bappenas, KemenLHK, Aparat Hukum dll), harus terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah ini. Penyediaan air bersih adalah kebutuhan dasar yang tidak bisa diabaikan, terutama di daerah yang sangat bergantung pada pariwisata,” kata Taufan.
Taufan menyimpulkan, krisis air bersih di Gili Meno dan Trawangan telah memberikan dampak kerugian ekonomi yang besar, mengganggu operasional bisnis dan menurunkan jumlah kunjungan wisatawan.
“Langkah-langkah cepat dan tepat diperlukan untuk mengatasi masalah ini dan memastikan keberlanjutan pariwisata di wilayah 3 Gili ini. Pemerintah dan pelaku usaha harus bekerja sama untuk menemukan solusi jangka pendek dan panjang guna menjaga stabilitas ekonomi dan reputasi pariwisata Gili Meno dan Trawangan,” harapnya.(***)