LIPUTANBARU.COM//Jakarta — Kerap naiknya cukai tembakau yang ditetapkan pemerintah dirasa tidak seimbang dengan kelayakan kesejahteraan yang dialami petani.
Salah satunya seperti dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang dalam penyalurannya dinilai kurang transparan dan tidak tepat sasaran.
Tasrif, petani tembakau di Desa Dradahblumbang, Kedungpring, Lamongan, Jawa Timur, mengaku merasa ada hal yang tidak beres dalam distribusi DBHCHT.
Menurut petani berusia 62 tahun ini, dirinya tidak pernah mengetahui sebenarnya berapa besar DBHCHT sebab tak pernah ada informasi terbuka atau penjelasan dari pihak berwenang.
“Kami, para petani tembakau di desa ini, cuma tinggal menerima saja. Tapi tidak pernah mengetahui berapa DBHCHT jika dibagi dengan petani tembakau di Lamongan,” ucap Tasrif, Kamis (7/9/2023).
Keluhan Tasrif lainnya, seolah terjadi praktik tebang pilih dalam penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) DBHCHT ke petani tembakau.
Menurutnya, pihak-pihak yang mendistribusikan BLT DBHCHT secara terselubung adalah perwakilan partai politik tertentu sehingga hanya menentukan petani tembakau di wilayah tertentu yang memperolehnya.
“Kesannya untuk kepentingan suara mereka. Apalagi ini mau hajatan pemilu Presiden (Pilpres) dan pemilu legislatif (Pileg), jadi petani tembakau di daerah ini dapat, di sana tidak, sebab sesuai kepentingan suara,” ujar Tasrif.
Tasrif berharap, nantinya siapa saja pemimpin Indonesia, khususnya calon Presiden (Capres), dapat mengatur skema distribusi DBHCHT lebih berkeadilan sehingga BLT tepat arah.
Sama halnya, Irna Suprapti juga menyesalkan terjadinya kecurangan dalam penyaluran BLT DBHCHT.
Ia menyampaikan, dalam realisasinya anggaran BLT DBHCHT ke petani tembakau kerap dikurangi besarannya oleh oknum tertentu demi keuntungan pribadi.
“Ulah ini saya dengar langsung dari pengakuan orang-orang yang biasa menyalurkan BLT DBHCHT. Katanya itu dilakukan untuk kepentingan politik menjelang Pilpres dan Pileg,” papar Irna.
Gerutu Irna lainnya menyoal tidak adanya upaya dari pemerintah negara menjembatani keterbukaan nilai keekonomian harga beli tembakau dengan petani.
“Iya, masih ditoleransi kalau ada tengkulak yang biasa menyerap panen tembakau. Namun harga beli ke kami jangan sampai sangat rendah. Ini terjadi karena kami tidak pernah tahu berapa harga dari pabrik,” imbuh wanita yang biasa memetik tembakau ketika panen ini.
Irna meminta, menuju perhelatan Pilpres ke depan, para Capres juga memiliki perhatian terhadap hal ini agar kesejahteraan petani tetap terjaga.
Diketahui, pemerintah kembali menetapkan kenaikan CHT tahun 2023 dan 2024 sebesar sepuluh persen.
Kenaikan besaran CHT terdapat pada kriteria sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek putih (SKP) yang masing-masing berbeda jumlahnya.(*)